Sunday, September 30, 2012

Lifeless Life

Beritahu aku apa itu cinta. Beritahu aku apa itu pengorbanan. Beritahu aku apa itu kasih sayang. Beritahu aku apa itu kehilangan. Beritahu aku seluruhnya tentang perasaan. Aku yang selalu sendirian hanya mengenal kata kesepian dan penderitaan.

Semua berkata dunia tidak adil. Memang begitu adanya. Jika dunia benar adil, semua orang pasti bisa merasakan kebahagiaan bersama. Tapi mengapa aku selalu sendiri? Apakah aku ditakdirkan lahir dan mati seorang diri? Tiadakah seorang pun yang akan mendampingiku menjalani hidup layaknya orang lain?

Aku selalu merasa dunia membenciku. Semua ia tumpahkan padaku. Kesedihannya, sakitnya, kesepiannya, penderitaannya, ia memaksaku menanggung semua beban berat itu seorang diri. Tanpa ada setitik pun cahaya bahagia yang menerangi jalanku. Ya, dunia membenciku.

Kehidupanku dimulai, dijalani, dan mungkin diakhiri dengan kegelapan. Aku dibuang oleh orang tuaku. Mereka tidak ingin memiliki gadis buruk rupa penyakitan yang hanya akan membebani mereka. Aku lalu dibesarkan di panti asuhan yang telah berbaik hati memungutku. Tapi saat aku semakin besar, aku mulai memahami tatapan mata semua orang dewasa padaku. Mereka menatapku kasihan, menganggapku objek malang yang bisa mereka gunjingkan. Tidak tahan, aku keluar dari tempat itu di umur 9 tahun.

Kesehatanku yang buruk membuatku tak bisa berlari terlalu cepat dan berpikir dengan baik. Hal apapun yang kulakukan selalu gagal. Bahkan aku tak bisa mencuri dengan benar. Tapi kalau tak begitu, bagaimana aku bertahan hidup?

Menginjak usia 17 tahun, rasa sakit di dalam tubuhku makin tak tertahankan. Batukku semakin keras dan melelahkan. Ada kalanya aku sampai harus meringkuk di lantai agar sakitnya tak mendera seluruh tubuhku. Aku merasa hidupku bisa berahir kapan saja. Beginikah akhirku? Sendirian, di lorong gelap yang tak diketahui siapapun, menyambut kematian dalam dingin?

Tiba-tiba saja paru-paruku kesulitan memasukkan udara. Sesak. Dadaku sakit. Pandanganku semakin buram. Aku yakin begitu mata ini tertutup, aku tak akan pernah bisa membukanya lagi. Ah... Sambutlah kematianmu dengan baik, diriku...

Langkah kaki. Samar, tapi aku mendengarnya. Langkah kaki cepat yang makin dekat, dekat, dan berhenti di depanku. Inikah dewa kematian yang akan mencabut nyawaku? Lalu segalanya berubah gelap.

***

Tubuhku kaku. Mataku terasa begitu berat. Aku merasa ada sesuatu menutupi wajahku. Tangan, bergeraklah! Ayolah diriku, apakah aku benar-benar sudah mati?

Tidak, nampaknya aku masih hidup. Aku mendengar suara di sampingku. Perlahan kubuka mata. Warna putih memenuhi pandanganku. Dimana aku? Masker oksigen menutupi hidung dan mulutku. Berbagai macam selang berseliweran di atas tubuhku. Di rumah sakitkah ini? Tapi siapa yang membawaku?

"Kau sudah sadar? Apa kau baik-baik saja?"

Pertanyaan bodoh. Aku tidak mungkin baik-baik saja, kan? Kulirik pemilik suara itu. Ah, tampannya dia. Warna matanya mengingatkanku pada pekat malam yang selalu menjadi atap saatku tidur. Wajahnya terlihat khawatir. Aku tidak mengenalnya. Diakah yang membawaku ke sini?

"Tenanglah, kau akan baik-baik saja. Aku sudah meminta mereka merawatmu dengan baik."

Aku mencoba besuara, tapi hanya desahan yang keluar. Bodoh sekali aku! Kenapa orang tak dikenal harus kerepotan karena dirimu?! Aku terbatuk keras, sukses membuat cowok tak dikenal itu menatapku lebih khawatir lagi. Dasar tubuh keras kepala! Kalau mau berakhir, kenapa tidak di tempat tadi saja? Kau pikir mati di rumah sakit itu gratis?

"Maaf, aku seenaknya membawamu ke sini. Aku tidak tega meninggalkan seorang gadis sekarat di lorong gelap begitu. Untunglah aku melihatmu. Dimana keluargamu? Bisakah aku menghubungi mereka untuk mengabarkan tentangmu?"

Aku menggeleng. Keluarga? Aku sudah melupakan kata satu itu. Sejak awal aku sendirian.

"Tidak ada? Kenapa kau bisa ada di sana? Apa kau sakit parah? Adakah yang bisa kulakukan untukmu?"

Kenapa ia harus sebaik itu? Ia tidak mengenalku. Berhentilah bersikap seperti itu! Jangan membuatku merasa bersalah. Ia menggenggam tangan kananku. Hangatnya. Apa nama perasaan ini? Bahagia?

"Bertahanlah, kau pasti baik-baik saja."

Rasanya tak tega membuat wajah itu kecewa. Tapi aku paling tahu tentang tubuhku sendiri. Ia takkan bertahan lama. Aku akan segera berpisah dengan dunia ini. Dan dengan cowok baik hati yang tak kukenal.

Kenapa kau begini kejam? tanyaku pada dunia. Tepat beberapa saat sebelum kematianku, kau mempertemukanku dengan malaikat kebahagiaanku. Kenapa tidak dari awal kau memberikannya padaku? Sungguh sakit rasanya menerima kebaikan dunia di saat-saat terakhirku begini.

"Hei, bertahanlah! Kau bisa mendengarku? Hei, lihat aku! Hei! Sadarlah! Tetaplah bersamaku! Hei! Hei...."

Ringan. Seolah jiwaku dibebaskan dari penderitaannya dan terbang tinggi. Kulihat ragaku yang kini tak bernyawa lagi. Oh, betapa menderitanya aku! Mataku cekung, tubuhku kurus kering. Dan sekarang ia tak bernyawa lagi! Tapi tak ada yang lebih mengecewakanku saat kulihat pemuda itu berusaha keras menahan kesedihannya begitu mengetahui aku telah tiada.

Dunia, jika di kehidupan baruku nanti aku bertemu dengannya lagi, tolong jangan bebani ia seperti ini. Buatlah kami bertemu dalam kebahagiaan dan mengarungi hidup nanti dengan hal-hal yang tak sempat kurasakan di kehidupanku sekarang.

[THE END]

Monday, September 10, 2012

Persona 3 ~after last battle~

Cerita ini kutulis setelah menyaksikan ending game kesayanganku dan menuturkannya sesuai perasaanku saat itu...

***

Sudah beberapa waktu berlalu sejak pertarungan itu. Sejak kami bertarung mempertaruhkan nyawa demi kedamaian dunia. Perjuangan kami tak sia-sia. Kedamaian kembali terasa di kota ini.

Tapi kenapa aku merasa sedih? Padahal orang itu sudah bersusah payah kembali dengan selamat setelah mengalahkan Nyx. Kenapa mereka semua lupa akan kejadian itu? Kenapa hanya aku yang mengingatnya?

Aku tak ingin merasakan perasaan itu lagi. Seperti pedang yang menghunus jantungku. Aku tidak mau merasakan ketidakberdayaanku saat ia menghilang di pertarungan itu. Aku merasa begitu lemah. Kenapa aku tak mampu menghentikannya?

Saat aku masih sibuk dengan pikiranku, pintu depan dorm  terbuka. Ah... sosok itu... Entah mengapa ia terlihat begitu rapuh. Ia menyunggingkan senyum padaku. Ah, senyum itu... Aku rela mengorbankan apa saja demi menjaga senyum itu. Bahkan nyawaku sendiri.

*

Aku lagi-lagi bertemu dengannya hari ini. Ia seolah tak berjiwa. Wajahnya kian memucat. Langkahnya sudah tak setegap biasanya. Ia terlihat semakin lemah. Meskipun begitu, ia masih sanggup memberikan senyuman padaku. Kenapa? Bukankah ingatanmu tentang SEES sudah tak tersisa lagi? Kau tak seharusnya membuang energimu untuk tersenyum pada orang asing! Kau tetap baik hati rupanya.

Sampai suatu hari aku menemukannya pulang dalam keadaan menyedihkan. Matanya begitu sayu, langkahnya semakin berat. Ia terdiam di depan pintu, berusaha mengumpulkan oksigen yang makin sulit masuk ke paru-parunya. Oh Tuhan! Ingin rasanya aku menangis histeris melihat kondisinya yang tak kunjung membaik. Mengapa ia masih ke sekolah dengan keadaan begitu?

*

Akhirnya hari ini tiba juga. Kelulusan. Mitsuru-senpai  dan Akihiko-senpai  akan meninggalkan Gekkoukan High School hari ini. Ah, masih ingatkah mereka dengan janji yang kami buat hari itu?

Pagi itu kuputuskan untuk berbicara dengannya. Kuketuk pelan pintu kamar orang itu. Astaga! Ada apa dengannya? Ia bahkan sudah tak sanggup lagi tersenyum. "Maafkan aku...," isakku pelan. Tapi ia tetap berusaha tersenyum dan berkata dengan suara lirih, "Kenapa meminta maaf?"

Kuajak ia ke atap sekolah. Angin musim semi bertiup pelan saat kami duduk. Ia berbaring di pangkuanku. Ah, wajah itu... Wajah yang tak pernah bisa hilang dari ingatanku. Wajah yang kini seolah tak berwarna lagi. Putih. Pucat. Ia sangat sakit.

Aah... Bodohnya aku! Kenapa aku malah menangis?! Aku tidak mau membuatnya khawatir! Ia mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. Entah kenapa jarinya terasa begitu dingin di pipiku.

Aku membungkus tangannya dalam genggamanku. Tidak! Kenapa tangannya dingin sekali? Apa keadaannya separah itu? Ini bukan waktunya aku berdiam diri seperti ini!

Tiba-tiba genggamannya melemah.Kepalanya terkulai lemah di pangkuanku. Tangannya menggantung bebas di sisi tubuhnya.

Oh... Tidak....

Aku bisa mendengar suara kaki di kejauhan. Itu pasti mereka. Teman-teman, kumohon cepatlah datang. Orang itu... Orang itu...

*

Aku sudah tak ingat bagaimana bisa sampai di dorm lagi. Tadi apa yang terjadi? Dimana orang itu?!

Betapa kagetnya aku saat melihat mereka semua berkumpul di ruang tamu. Apakah ingatan mereka kembali? Mana orang itu? Mitsuru-senpai dan Akihiko-senpai pun tak terlihat.

Sebelum aku sempat menanyakannya, senpai turun bersama seorang dokter. Tak ada yang berani buka suara, bahkan saat Mitsuru-senpai  sudah ikut duduk bersama kami. Wajahnya terlihat lelah. Apapun itu, aku ingin percaya bahwa orang itu baik-baik saja. Kumohon, biarkan ia baik-baik saja...

*

Malam itu, ia mendatangiku di dalam mimpi. Ya, aku yang tak bisa bermimpi pun melihat dirinya dibalik kelopak mataku. Sosoknya yang tersenyum hangat kepadaku. Sosoknya yang melambai dan mengucapkan selamat tinggal dengan air wajah sedih yang tak pernah kulihat sebelumnya. Apa maksudnya ini?

Firasatku dengan segera menjadi kenyataan. Semua orang memasang wajah sendu. Yuka, Fuuka, Mitsuru-senpai, dan Ken-kun bahkan menangis. Akihiko-senpai  mengepalkan tangannya kuat-kuat, mati-matian menahan kesedihannya. Ini berarti...

Orang itu.... meninggal...

*

Aku tak sanggup menggambarkan perasaanku saat itu. Sedih? Marah? Tentu saja aku marah! Aku marah pada diriku yang begitu lemah. Kenapa aku tak bisa melindunginya? Padahal aku sudah berjanji padanya. Aku menyesali kelemahanku yang tak mampu melindunginya. Kini setelah ia tiada, apa tujuan hidupku?

* [END] *