Thursday, February 28, 2013

Karena Aku...

"Tiana, hari ini kamu mau main apa?"

"Aku mau ke taman lagi! Ayo pergi ke taman!"

"Hari sudah sore, Tiana. Tidak baik pulang terlalu malam nanti..."

"Pokoknya aku mau ke taman! Huwaaaaaa!!!"

"Tiana!"

"Byaku-nii!!!"


Aku tersentak bangun dengan keringat membasahi wajah. Jantungku berpacu liar, udara masuk dengan cepat ke dalam paru-paruku. Kupegangi dadaku yang terasa nyeri. Sesuatu yang hangat menggenangi kelopak mataku. "Byaku-nii...."

**

"Tiana! Gosong! Gosong!"

Kurasakan tangan seseorang menarik bahuku dan mengambil alih benda dalam genggamanku dengan cepat. Saat aku tersadar, Tokiya sudah sibuk mematikan kompor dan memindahkan telur gosong ke atas piring. Setelah meletakkan peralatan masak tadi ke bak cuci, dia menyeretku ke kursi tinggi dan mendudukkanku di sana. Matanya memicing saat ia bertanya, "kamu kenapa?"

Aku menggeleng pelan. Namun Tokiya tidak percaya begitu saja. "Tiana, serius nih. Jellal sedang tak ada di rumah dan aku yang kebagian tanggung jawab mengawasimu. Jadi sebaiknya kamu jujur dan ceritakan masalahmu."

Aku kembali menggeleng, tapi Tokiya masih terus menatapku curiga. "Sungguh, aku tidak apa-apa. Hanya sedikit melamun tadi. Mungkin hanya capek. Ah, kalau tidak keberatan aku mau kembali ke kamar sekarang. Bisa gantikan aku menyiapkan makan malam?"

Kali ini Tokiya mengangguk dan membiarkanku lewat. Atau... begitulah pikirku. Nyatanya cowok itu dengan cepat menghalangi jalanku sambil mendesah keras. "Kamu tahu? Satu-satunya hal yang mustahil kamu lakukan adalah berbohong. Begini saja, aku akan meminta Kise memesan sesuatu untuk makan malam kita sementara aku mendengar ceritamu. Terdengar bagus?"

Nampaknya aku tak punya pilihan lain selain menyetujui ide Tokiya. Toh apapun yang kukatakan tak akan merubah keputusannya. Jadi aku meletakkan celemek dan membiarkan Tokiya membawaku ke gazebo di samping kolam renang. Kami duduk berhadapan dengan aku yang menundukkan kepala sementara aku dapat merasakan tatapan cowok itu menusukku.

Lama kami bertahan dengan keheningan hingga Tokiya tak tahan dan akhirnya buka suara, "Kamu harusnya tahu aku tidak akan keberatan menunggu lama sampai kamu bicara. Atau kita bisa selesaikan ini sekarang dan membiarkanku mendengar masalahmu?"

Ya, aku harusnya tahu Tokiya bisa jadi sangat keras kepala jika dibutuhkan. Dan dia tahu benar waktu yang tepat untuk itu: agar aku menceritakan apa yang menurutnya masalahku.

"Aku tidak sedang dalam masalah apapun, Tokiya," ucapku akhirnya.

"Jangan bohong," sahutnya cepat.

"Aku tidak bohong!"

Hening kembali. Aku mendengar suara Tokiya bergerak ke sampingku. Tangannya terulur merangkul bahuku, lalu menariknya lembut hingga bersandar padanya. Tepat saat kepalaku menyentuh bahunya, air mataku tumpah begitu saja. Tokiya mempererat pelukannya, membiarkanku bersembunyi di balik lengannya yang kokoh.

Ini yang aku butuhkan sekarang.....

**

Aku memiliki seorang abang yang berusia jauh di atasku. Seingatku, kami baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-18 saat aku berusia 7 tahun. Namanya Byakuya. Byaku-nii kesayanganku...

Karena aku yang paling kecil dan satu-satunya anak perempuan dalam keluarga, Byaku-nii begitu menyayangi dan memanjakanku. Daripada abang, aku lebih seperti memiliki seorang ayah lagi. Aku tak pernah bisa lepas darinya barang sedetik pun. Dialah segalanya bagiku. Abangku, temanku, pahlawanku....

Kami sering bermain bersama. Saking seringnya hingga tak terhitung berapa banyak tempat yang sudah kami kunjungi demi memuaskan keegoisanku. Namun dari semua tempat itu, ada sebuah taman yang begitu berkesan bagiku. Sebuah taman yang membuatku merengek-rengek di suatu sore agar Byaku-nii bersedia membawaku ke sana lagi.

"Baiklah, Oniichan akan membawamu ke sana," putus Byaku-nii. "Asalkan Tiana mau berjanji untuk tidak menangis lagi."

Aku tersenyum senang. Buru-buru menggosok wajahku yang belepotan air mata. Byaku-nii menggandeng tanganku dengan telapak tangannya yang besar sambil memamerkan senyumnya yang memancarkan kelembutan padaku.

Sebenarnya taman itu tak begitu jauh dari rumah. Hanya saja, jalan di depan taman menjadi begitu ramai saat mulai gelap. Maklum, banyak karyawan yang baru keluar dari gedung kantor mereka. Byaku-nii selalu berkata kalau suara ribut kendaraan mengganggunya. Karena itu kami hanya mengunjungi taman sebelum jam 5 sore.

Namun entah apa yang membuatku begitu ingin mengunjungi taman di waktu seperti itu. Yang jelas aku hanya ingin pergi ke sana. Berlari-lari lagi di taman yang sepi itu hingga aku lelah dan duduk di pangkuan Byaku-nii sambil merasakan telapaknya mengelus kepalaku. Dengan keyakinan bahwa Byaku-nii tak mungkin bisa menolak ajakanku, kupaksa abangku menuruti kemauanku.

Benar saja! Hari sudah gelap ketika aku puas bermain di taman itu. Byaku-nii kembali membimbingku pulang ke rumah. Waktu yang tidak tepat bagi seekor kucing gembul nan lucu untuk lewat dihadapan diriku yang masih anak-anak. Kulepaskan genggaman Byaku-nii dan ganti mengejar kucing gembul menggemaskan itu.

"Tiana!"

Kucing itu berlari makin cepat saat aku makin gencar mengejarnya. Terlalu sibuk bagi diriku untuk memperhatikan bahwa kucing itu sudah membawaku ke jalan raya yang mulai ramai. Tepat saat kucing itu berada dalam pelukanku, sepasang cahaya dan suara klakson mobil mengejutkanku.

Aku terduduk lemas di tengah jalan tanpa bisa melakukan apa pun. Hal berikutnya yang kusadari adalah sebuah bayangan gelap berdiri menghalangi sepasang cahaya tadi. Tubuhku yang sekejap lalu dingin karena kaget diselimuti kehangatan.

Lalu aku mendengar suara benturan keras. Aku yang terlalu takut untuk membuka mata hanya bisa menangis saat kurasakan tubuhku terlempar. Anehnya, tubuhku yang seharusnya mendarat di aspal tidak merasa sakit. Malah, aku seperti tertahan oleh sesuatu yang lembut...

Akhirnya aku memberanikan diri membuka mata dan mencoba bangkit saat kurasakan sesuatu menahanku bergerak. Kudorong bayangan gelap di depanku dan kaget ketika mendapati bayangan tadi adalah Byaku-nii.

Abangku tergeletak di tengah jalan dengan berlumuran darah...

"Byaku-nii!!!"

Meskipun aku bisa merasakan kendaraan mulai menepi dan banyak orang mulai mengelilingi kami, aku mengacuhkannya dan mengguncang tubuh abangku yang tak bergerak. "Byaku-nii!" panggilku lagi. Aku mulai panik melihat genangan darah yang begitu banyak di bawah kami. Karena itu aku tak bisa menyembunyikan senyumku saat melihat matanya terbuka. Bola mata itu bergerak-gerak, lalu berhenti padaku. "Byaku-nii..."

Seorang pria tak dikenal berjongkok di samping Oniichan sambil menempelkan ponsel ke telinga. Namun sentuhan di pipiku kembali mengalihkan pandanganku pada Byaku-nii. Kuletakkan kedua tanganku di atas punggung tangannya yang basah oleh darah. "Oniichan?" panggilku lagi, entah untuk yang ke berapa kalinya. Lalu bibirnya menyunggingkan senyum.

"Apa Tiana baik-baik saja? Tidak terluka?"

Aku menggeleng pelan. Pelupuk mataku tergenang saat kurasakan sentuhan di pipiku berubah dingin. Aku tidak mengerti mengapa, tapi aku merasa begitu sedih hingga ingin menangis sekuatnya.

Matanya kembali terpejam. Tangannya terjun bebas ke pangkuanku. Aku masih tidak mengerti. Mengapa aku menangis?

Tak lama kemudian sebuah mobil putih dengan cahaya merah menyilaukan mendekat. Orang-orang berbaju putih menghampiri abangku dengan terburu-buru. Satu kalimat yang terlontar dari mulut petugas itu sudah cukup menjelaskan alasan yang tak kumengerti.

"Terlambat, pemuda ini sudah meninggal."

Hal yang kuingat selanjutnya adalah aku memeluk tubuh Byaku-nii yang mulai dingin. Aku menangis sekuat-kuatnya di atas dada bidangnya yang sealu menampungku saat aku sedih. Aku ingat betapa sulitnya petugas-petugas itu melepaskanku dari jasad Byaku-nii untuk dibawa pergi. Beberapa ingatan setelahnya, aku sudah berada dalam pelukan Jellal-nii yang bergetar.

Duniaku berhenti berputar di hari itu.

**

Tokiya membimbingku naik ke kamar setelah makan malam. Setelah mendudukkanku di atas tempat tidur, ia berkali-kali mengulang kalimat yang sama dengan yang diucapkannya di gazebo tadi.

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Kecelakaan itu bukan salahmu. Semua itu terjadi karena dia ingin melindungi adiknya tercinta. Tidak mungkin dia menyalahkanmu, Tiana."

Benarkah begitu? Byaku-nii mengalami kecelakaan itu karena ingin melindungiku, kan? Dia pergi karena mencoba menyelamatkanku, kan? Kenapa itu bukan salahku?

"Tokiya, jika kau berada di posisi yang sama dengan Byaku-nii, apa yang akan kau lakukan?"

Tokiya menatapku sambil tersenyum. "Aku akan melakukan hal yang sama dengannya. Melindungi gadis mungil kesayangannya meski dengan taruhan nyawa."

"Apa kau tidak menyalahkanku?"

"Kenapa?" Tokiya mengernyit heran. "Itu semua pilihanku. Jika aku meninggal karena menyelamatkan adik yang kucintai, tak ada hal lain yang bisa membuatku lebih bahagia."

"Begitu?"

Dia mengangguk. "Nah, sekarang waktunya bagimu untuk istirahat. Jangan terus-terusan memikirkan hal seperti itu. Nanti dia tidak tenang di sana. Oyasumi, Tiana...'

Kubiarkan kata-kata Tokiya memenuhi benakku saat memejamkan mata dan tidur.

Byaku-nii.... maafkan aku...

**

[THE END]

Saturday, February 16, 2013

Satu Detak Inspirasi

Kelopak mata itu terbuka. Memamerkan iris berwarna hijau yang bersinar lembut. Lalu kelopak itu bergerak turun, kembali menutupi iris yang indah itu. Saat kelopak itu terbuka lagi, pandangannya tertuju padaku. Pemilik mata itu memiringkan kepalanya saat mendapatiku tengah mengamatinya.

Gawat! Aku buru-buru menunduk, berpura-pura fokus pada halaman buku yang terbuka di pangkuanku. Aku menunggu beberapa menit sebelum kembali mengangkat kepalaku. Kali ini iris hijau itu tertuju pada kanvas putih di hadapannya. Kembali kugunakan kesempatan ini untuk memandanginya.

Tinggi gadis itu pasti tak lebih dari 160 cm. Rambut pirang panjangnya tertutup topi lebar berwarna putih, senada dengan long dress yang ia kenakan. Jemari lentiknya menggoreskan kuas dengan hati-hati. Sayang sekali aku tak bisa melihat apa yang sedang ia goreskan ke atas kanvas. Hatiku bertanya penasaran keindahan seperti apa yang tengah ia bayangkan?

Taman ini sangat jarang dikunjungi orang. Entah apa yang membuat mereka lebih suka menghabiskan waktu di dalam gedung bernama mall yang penuh sesak oleh manusia daripada duduk menikmati kenyamanan yang diberikan alam di taman ini. Sayang sekali menyia-nyiakan tempat seindah ini begitu saja. Dan saat aku berpikir seperti itu, gadis tadi muncul.

Taman hari ini tetap sepi seperti biasa. Hanya ada aku yang duduk di bangku seperti biasa, lalu menikmati udara segar tempat ini seperti biasanya. Namun satu hal itu mengubah kebiasaan yang selalu kulewati: gadis tadi tiba-tiba muncul sambil menenteng tas besar serta dudukan kanvas. Awalnya aku tak terlalu memperhatikan kedatangan gadis itu. Suara ribut kuas-kuas yang menghantam lantai batulah yang membuatku menoleh padanya. Gadis itu dengan gugup memunguti kuasnya yang beraneka ukuran itu dan meletakkannya di bangku. Ia berpaling padaku, dan detik itulah aku menyadari iris indah itu.

Lima jam telah berlalu sejak kejadian kecil itu. Tapi tak satupun dari kami beranjak dari tempat masing-masing. Sesekali gadis itu mengalihkan pandangan dari kanvas dan bertemu mata denganku. Namun entah mengapa gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat mata kami bertemu. Bolehkah aku menganggap ini suatu pertanda baik?

Satu jam berlalu begitu saja. Gerakan tangan gadis itu mulai berkurang. Apakah lukisannya sudah selesai? Aku penasaran bagaimana hasilnya. Namun nyaliku tak cukup besar untuk menghampiri gadis itu. Haha... Laki-laki macam apa aku ini? Hal begitu saja tak bisa kulakukan.

Gadis itu menutupi kanvasnya dengan kain putih dan mulai berkemas. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Benarkah? Sudah hampir jam enam? Kututup buku yang dari tadi hanya kupegang dan beranjak dari bangku. Mencoba melupakan iris hijau yang mengawang di ingatanku.

**


Saat aku kembali mengunjungi taman keesokan harinya, satu hal yang di luar kebiasaan lagi-lagi muncul. Kali ini berupa bungkusan besar yang disandarkan di bangku tempat aku biasa duduk.

Perlahan kudekati bungkusan mencurigakan itu, lalu mendapati sebuah kartu tertempel di permukaannya.

Kepada pria yang menginspirasiku dalam satu detak

Begitu tulisannya. Dahiku berkerut bingung. Apakah pria yang dimaksud ini aku? Mataku kembali tertumbuk pada bungkusan itu. Mungkin aku akan mengerti begitu membukanya. Jadi aku merobek kertas berwarna biru itu tanpa ampun.

Pupilku melebar dan desiran hangat terasa di dadaku saat melihat wujud dalam bungkusan itu. Itu adalah lukisan seorang pria berkacamata yang sibuk membaca buku di bangku taman. Rambut coklatnya jatuh dengan rapi di dahi, sedikit menutupi kacamata yang membingkai mata lebar kecoklatan pria itu. Dan hal yang paling mengejutkan adalah kenyataan bahwa pria dalam lukisan itu terlihat sangat mirip dengan diriku.

Sebuah kertas meluncur turun dari balik lukisan itu. Kuteliti tulisan rapi yang mengisi kertas itu.

Teruntuk pria dalam lukisan,
Tak pernah terbayangkan ada pria yang mampu mencuri pandanganku di tempat seperti ini. Jujur saja, aku tak pernah bisa melukis dengan indah kalau objek lukis itu tak menarik perhatianku. Namun dirimu, hanya dalam satu detak jantungku saja, mampu menyihir pandanganku agar tak terlepas darimu. Anda sangat mengagumkan.
Jika tak berkeberatan, aku ingin bertemu lagi denganmu. Apakah Anda keberatan?

Deyna

Baiklah.... Apakah kali ini aku sudah boleh berharap?

**

[THE END}

Thursday, February 14, 2013

レンの誕生日 - Ren's Birthday

Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Tapi yang sudah duduk rapi di meja makan hanya aku, Tokiya, Jellal-nii, dan Ren--tentu saja Tsukimori Ren. Sisanya, yah... sepertinya mereka masih asyik bergelung dalam selimut. Wajar, sih, mengingat betapa dinginnya cuaca pagi ini. Kalau tidak ingat tugasku mengurus rumah, mungkin aku akan meneruskan tidur di kasurku yang nyaman.

Aku meletakkan setangkup roti di atas piring tiga cowok itu. Jellal-nii menggumamkan terima kasih saat aku duduk di sampingnya. Aku menggigit ujung rotiku hati-hati sambil memandangi ponsel yang tergeletak di atas meja. "Lho? Hari ini kan...."

"Kenapa, Tiana?" Jellal-nii bertanya khawatir. Mungkin melihat dahiku tiba-tiba berkerut membuat insting abangnya bangkit. Aku menatap Jellal-nii. "Hari ini tanggal 14 kan?"

"Iya, memangnya kenap--Ah, aku ingat.... Apakah kau akan menyiapkannya sekarang?"

Aku mengangguk semangat. "Tentu saja! Tolong kasi tau yang lain ya, niichan!" Lalu aku melesat menuju ruang keluarga.

"Tiana! Aku sudah memesannya semalam! Mungkin siang nanti pesanannya datang!" teriak Jellal-nii.

Kuacuhkan Jellal-nii dan mulai membongkar kardus yang seingatku sudah seminggu bertengger di pojok ruangan. Kubongkar isinya dan mulai memilah kertas beraneka warna dan bentuk di dalamnya. Ah, pagi yang sibuk!

**

Sekitar dua jam kemudian, aku sudah selesai menyulap ruang keluarga menjadi tempat pesta kecil. Dengan bantuan Ren dan Tokiya, sih, sebenarnya. Setiap sudut ruangan penuh dengan kertas warna-warni dan balon. Benar-benar seperti pesta anak kecil. Hihihi....

Aku sedang sibuk mengatur makanan di atas meja saat bel berbunyi. Tokiya yang tadinya sibuk membantuku dengan sigap berlari ke pintu. Tak lama kemudian, ia kembali dengan menenteng sebuah kotak putih berpita. Tokiya menyerahkan kotak itu padaku. "Sisanya terserah padamu. Sepertinya mereka sudah tidak bisa menahannya lagi."

"Eeeh??? Aku masih perlu setengah jam lagi, nih! Tokiya, bantuin mereka, ya? Masa udah sejauh ini malah gagal? Yaa? Pleaaaaase......!"

Tokiya mengangguk pasrah. "Cuma setengah jam, kan? Akan kuusahakan sesuatu."

"Yaaay! Makasih, Tokiya!"

Dan aku kemudian berkutat dengan isi kotak putih itu. Melirik isinya, bibirku tak bisa berhenti tersenyum. Sedikit lagi persiapan selesai....

**

"Oi, oi, oi! Kalian dari tadi kenapa, sih? Kenapa aku tidak boleh turun? Aku belum menyapa my lady hari ini!"

Aku bisa mendengar suara Jinguji Ren dari arah tangga. Kelihatannya mereka gagal menahannya lebih lama lagi di atas. Untungnya, aku juga sudah selesai dengan persiapanku di sini. Tinggal menyeret tokoh utamanya ke dalam pesta!

Cepat-cepat kuhampiri gerombolan cowok di tangga. Jellal-nii mengangguk padaku. "Baik, baik! Sekarang kau sudah bisa menyapanya. Lihat? Itu dia."

Ren menoleh dan tersenyum cerah begitu melihatku. "Lady! Maaf aku terlambat bangun. Aku benar-benar payah karena tak bisa menyapamu tepat waktu."

"Nggak papa... Daripada itu, ikut aku yuk?" Tanpa menunggu jawaban, aku menarik lengan Ren. Bisa kurasakan dia terkejut dengan sikapku. Namun dia tak mengatakan apapun.

Saat sudah dekat dengan ruang keluarga, Ren terbelalak takjub. Ia bergantian melirikku dan sepupu-sepupuku. "Selamat ulang tahun, Ren!" Kami kompak berteriak.

Aku menyeret Ren supaya berdiri di depan kue ulang tahun. Ia menatap kue cokelat di hadapannya aneh. "Lady, bukannya bermaksud tidak sopan, tapi aku--"

"Tidak suka cokelat, kan? Tenang saja, itu dark chocolate kok. Nggak manis."

"Kalian... melakukan ini semua untukku? Hiasan ruangan, bahkan kue ulang tahun?" tanya Ren terharu. Kami mengangguk. "Sekali lagi, tanjoubi omedettou, Ren." Jellal-nii menjabat tangan Ren, lalu diikuti oleh Tokiya dan Ren. "Loh, Gray-kun mana?"

"Aku di sini!"

Kami semua serempak menoleh dan mendapati Gray membawa tumpukan kotak yang dibungkus rapi. Dia meletakkan tumpukan kotak itu di lantai lalu menyalami Ren. "Selamat, ya. Ini hadiah dari kami semua."

Pesta dimulai! Lagu dinyanyikan, lilin ditiup, dan kue dipotong. Ren memaksaku memakan suapan pertama darinya. Lalu, entah siapa yang memulai, krim kue sudah menempel di wajahku. Aku mengambil krim kue dan balas mencolek wajah Gray--karena hanya dia kandidat yang paling mungkin mencolek wajahku dengan krim.

Dalam kekacauan itu, aku  menangkap tatapan lembut dari Ren yang seolah ingin mengucapkan terima kasih. Aku membalas tatapan itu dengan senyum.

Tanjoubi omedettou ne, Ren~ (14-02-2013)

[THE END]