Friday, April 19, 2013

“Ichiban no Takaramono”


 

'Kao wo awashitara kenka shite bakari...'[2]


 

    Pernah nggak sih kalian merasa pingiiiiiin banget marah-marah sama orang padahal cuma ngeliat mukanya doang? Iya, cuma ngeliatin mukanya aja emosi langsung memuncak sampe ke ubun-ubun! Sayang sekali aku bertetangga dengan orang itu. Yah, sayang sekali.

    Nama cowok itu Akira. Saat pertama kali pindah ke samping rumahku, wajahnya benar-benar menyebalkan. Ia selalu memicingkan mata sipit yang tersembunyi di balik kacamatanya itu. Dia juga pelit bicara. Aku pernah mencoba menegurnya saat dia sedang mengangkat barang-barang miliknya ke dalam rumah dan dia hanya melirik sekilas lalu pergi. Sombong banget!

    Lebih parahnya lagi, dia jarang berekspresi! Satu-satunya ekspresi yang pernah kulihat muncul di wajahnya adalah senyum sinis—eh, senyum ngejek maksudnya. Ooooh, aku saaaangat mengingat kejadian itu. Sore itu aku baru saja pulang dari tempat les musik. Mungkin gara-gara kecapean, aku nggak ngeliat bawah dan tersandung batu lalu jatuh dengan nggak enak. Lebih nggak enaknya lagi, aku jatuh di depan rumah Akira DAN cowok itu lagi duduk di teras. Waktu dia menghampiriku, kukira dia niat menolongku. Eeeh, gak taunya dia malah senyum-senyum dan masuk ke dalam rumah. Nyebeliiiin!

    Waktu akhirnya aku bertemu muka dengannya, kukeluarkan semua kekesalanku padanya. Aku ngomel panjang lebar sampe pegel, tapi dia cuma mendengus dan memandangku kesal. Tuh kan?! Dia ngajak berantem terus kaaan?!

    Semenjak itu, aku selalu berusaha menghindari pertemuan dengannya. Bisa gawat kalau aku kelepasan menghajarnya, kan? Aku nggak peduli meski dia ganteng, putih, tinggi, dan punya senyum menawan! Pokoknya aku sebeeeeel sama dia!


 

'Kimi to ga yokatta hoka no dare demo nai...'[3]


 

    Setelah agak lama mengenalnya—sekitar dua bulan gitu deh—aku mulai menyingkirkan semua pikiran jelekku tentangnya dan mencoba mengunjunginya. Modal nekat juga, sih. Soalnya aku juga baru sekali ini datang sendiri ke rumahnya. Iya, parah banget! Padahal kami tetanggaan, iya kan? Ckckckck....

    Sambil menenteng sekotak kue—yang dibeli oleh ibuku. Beliau heboh banget waktu aku bilang mau datang ke rumah Akira—aku berani-beraniin mengetuk pintu rumahnya yang hening banget itu. Nggak berapa lama kemudian, wanita cantik membukakan pintu. "Siapa, ya?" tanya wanita itu dengan logat aneh. Aku mengangkat kotak kuenya. "Saya Orika, tetangga sebelah. Ini buat Akira," jawabku.

    Mata wanita itu mendadak cerah. "Menjenguk Akira?"

    "Haah?"

    "Ayo, saya antar ke kamarnya," ucapnya bersemangat sambil menarikku menaiki tangga.

    Apa maksudnya ini?!

--

    "Akira, temanmu datang."

    Oke, ini di luar perkiraanku. Aku tidak bermaksud sama sekali masuk ke kamar cowok yang selama ini selalu bikin aku naik darah. Apa pula yang terjadi ini? Cowok itu tenggelam di bawah selimut tebal dengan wajah merah di tempat tidurnya. Dia lagi tidur loh, Tante! Anakmu itu lagi istirahat dan Anda membawa masuk seorang cewek tak dikenal ke dalam kamarnya? Aku pasti sudah mengamuk kalau jadi dia!

    "Maaf, Tante. Akira kayaknya lagi ti—"

    "Siaphaaa?"

    Pertanyaan yang seperti bisikan itu sungguh mengagetkan. Sempat kukira itu suara hantu. Untunglah itu cuma suara Akira. Tapi kenapa dengan suaranya?

    "Temanmu datang menjenguk. Mama mau buatkan teh dulu." Dan Tante cantik itu pergi meninggalkanku berdua dengan Akira. Siiiiiinggg—

    "Kamu... si tetangga itu kan?" Tiba-tiba cowok itu bersuara. Aku mengangguk. "Duduk, jangan jauh-jauh. Nanti suaraku nggak kedengaran." Aku menarik kursi ke dekat tempat tidurnya. Yah, apa boleh buat. Sudah terlanjut niat, lanjutkan sajalah.

    "Sudah lama... nggak melihatmu," katanya lagi. "Menghilang... kemana?"

    Aku memaksakan senyum. "Kau saja yang tak bisa melihatku. Aku nggak ngilang kok." Kalau libur panjang begini, aku memang menghilang ke 'dunia lain'. Main game, baca buku seharian dan nggak keluar rumah sama sekali. Wajar dia nggak ngeliat aku.

    Lama dia tak menjawab. Mengumpulkan energi untuk pertanyaan berikutnya, mungkin? "Kenapa nada bicaramu... selalu seperti itu kalau... bicara padaku? Kamu marah?"

    Bagus sekali pertanyaanmu! Akan kujawab sepenuh hati. "Iya. BANGET."

    "Mungkin kau nggak ingat, tapi waktu pertama kali pindah aku menyapamu dan kau malah ngeloyor pergi. Aku waktu itu sedang berusaha berkenalan, looooh!" ceritaku emosi. Si Akira mengernyit heran. "Jadi, waktu itu kamu mau ngajak kenalan?" tanyanya bingung. Ini anak beneren ngajak berantem banget, sih? "Ya iyalah! Emang mau ngapain lagi?"

    "Aku... nggak mengerti," katanya. "Pertama kali datang ke sini, aku masih... belum mengerti bahasa Indonesia." Aku sukses melongo parah. Serius nih? "Melihat gayamu, kukira ada perlu dengan orang tuaku. Jadi aku masuk untuk memberitahu ayah. Ah, Ibuku orang Jepang dan sebelumnya... kami tinggal di sana."

    O-oh. Jadi selama ini aku sudah salah sangka? Ah, tunggu. Aku masih belum puas. "Tapi, kenapa waktu aku jatuh di depan rumahmu itu, kau malah masuk ke dalam rumah?"

    "Oh... Kukira kamu... sakit. Aku masuk mau ambil... kotak obat," jelasnya. Rasa malu makin meningkat. "Kok nggak bilang aja, sih?"

    "Sudah kubilang, aku nggak... ngerti bahasa Indonesia. Aku senyum maksudnya minta kamu... nunggu."

    Doeeeeeng!!! Tidaaaaaak!! Jadi selama ini aku salah sangka dan menganggapnya orang yang nyebelin padahal dia baik banget? "Maaaaf! Sori, soriiii! Aku nggak tauuuu! Akira, jangan marah, ya? Plis... Oh iya, aku kabulin satu permintaanmu, deh! Tapi maafin aku, ya?" Aku mulai panik. Sangat panik. Sungguh konyol rasanya mengingat diriku yang sudah salah menilainya. Apalagi setelah mendengar ceritanya.

    "Akira, mama masuk, ya?"

    Deg! Tante cantik itu masuk sambil membawa nampan berisi teh dan kue yang tadi aku bawa. Sumpah! Kaget banget! Aku masih syok mendengar penjelasan tadi. Si tante melirikku curiga. "Orika, jangan-jangan kamu pacarnya Akira, ya?" Ya ampun! Dapet ide darimana sih, Tante???? "Bukaaaaaan!"

    Dan aku kabur dari tempat itu secepat yang kubisa. Melupakan permintaan Akira yang belum sempat diucapkannya.


 

'Demo mezameta asa kimi wa inai nda ne...'[4]

A year later...

    "Aku mau balik ke Jepang, Ka."

    Teh yang ada di mulutku tersembur keluar. Akira dengan santainya mengelap wajahnya yang jadi korban semprotanku. "Apa katamu?! Ke Jepang?! Ngapain?" tanyaku heboh.

    "Harusnya hal yang kamu bilang pertama kali itu adalah 'maaf'. Bukannya nyerocos gak pake titik koma gitu," protesnya.

    "Aku kaget, Ra. Shocked! Kamu serius ngomong tadi?"

    "Aku serius, sayang. Minggu depan aku berangkat."

    "Haaa? Jangan dong, Ra. Kamu disini aja, ya?"

    Ia memainkan poninya. Kebiasaan Akira kalau sedang berpikir. "Ra, kenapa kamu mau balik ke Jepang? Kasi tau dong! Akiraa!" desakku penasaran. Dia ini emang hobi banget ya bikin aku kesel! "Kalo aku nggak mau bilang gimana?"

    "Iih! Gitu deh, jahat ya kamu. Tega bikin aku penasaran sampe nggak tidur semalaman ntar. Oh, makasih banget deh...."

    "Yah, dia ngambek deh. Iya, aku kasi tau deh," ucapnya mengalah. "Aku kangen sama 4 musim di negaraku. Aku kangen sama salju putih yang selalu menyelimuti halaman rumahku. Aku kangen sama perayaan musim panas di sana. Aku kangen pada semua hal yang nggak bisa kutemui di sini."

    Aku cemberut. "Oh, gitu ya. Ya udah, pergi sana jauh-jauh! Aku kan nggak lebih penting daripada salju di halaman rumahmu!" kataku ketus. Kuletakkan cangkir teh di atas meja dengan kasar. "Aku pamit pulang. Makasih tehnya."

    Sebenarnya aku bisa mendengar panggilan Akira saat aku berbalik menjauhinya. Tapi aku sudah kepalang kesal mendengar alasannya, jadi kuputuskan untuk mengacuhkan cowok itu.

--

Malam minggu kali ini agak nyesek. Biasanya ada Akira yang mengajakku pergi entah kemana. Cuma gara-gara hal sepele kemarin, aku harus rela kesepian di kamar. Aku tau Akira bukan tipe yang bakal ngambek hanya karena hal sekecil itu. Tapi cowok itu pasti mengira aku masih kesal padanya dan segan untuk menghubungiku. Akira memang terlalu banyak mikirnya.

    Kugenggam ponselku. Sebenarnya aku tinggal menekan tombol hijau saja supaya bisa tersambung dengan Akira. Tapi kok rasanya aneh kalo aku yang nelpon duluan. Tekan... Tidak... Tekan... Ti...

    Drrrt... Drrrt... Ponsel dalam genggamanku bergetar heboh. Hampir saja benda itu jatuh. Dengan sigap kujawab panggilan itu. "Halo?" Hening sejenak. "Orika. Kamu bisa—"

    "Akiraaaaa!" teriakku begitu mengenali si pemilik suara. "Huuuu... Maafin aku~ Kamu jangan marah ya? Tadi itu aku kayak anak-anak banget. Aku minta maaf..."

    Akira terdiam. Aduh, gawat nih! "Orika, aku—"

    "Kamu nggak suka, kan? Iya, aku tau. Makanya—"

    "DENGERIN DULU!" potongnya kesal. Aku buru-buru menutup mulut. Terdengar suara desahan panjang. "Sori, nggak maksud teriak gitu. Kamu sih hobi banget motong omongan aku!" omelnya.

    Akira berdehem. "Kamu bisa keluar sebentar nggak?" tanyanya. Aku cepat-cepat keluar kamar dan menuruni tangga lalu menjeblak pintu depan. Bugh! "Auw!" Bruk! Aku terkesiap. Menyadari yang dihantam oleh pintu tadi adalah Akira yang sekarang sudah terkapar dengan hidung berdarah. "Akira! Akira! Kamu bisa denger aku? Akira!"

--

Tanganku mulai pegel ngipasin Akira yang masih belum sadar juga. Pahaku juga udah sakit, nggak nyangka kepalanya berat juga ternyata. Untunglah tadi abangku mau bantu ngangkut dia ke dalam. Dan beginilah jadinya. Akira tertidur dengan damai di pangkuanku di ruang tamu plus diliatin sama Ibu dan abangku. Memalukan!

    "Akira, kenapa sih kamu pake pingsan segala? Masa dihantam pintu aja kamu tumbang?"

    "Kamu belum pernah kena, sih. Sakit, loh," katanya tiba-tiba. Aku terkesiap kaget.

    Akira menggeliat pelan. Sebentar kemudian ia bangkit sambil memegangi hidungnya. Mungkin memeriksa apakah hidung mancungnya masih normal atau jadi pesek. Kemudian dia celingukan, nggak tau deh nyari apa. Lalu tiba-tiba dia melompat berdiri dan menarikku keluar.

    "Eh, Akira! Apa-apaan ini?!" seruku heboh. Tapi Akira tak mempedulikan pertanyaanku dan terus menyeretku keluar dari rumah. Saat kusangka Akira ingin membawaku ke rumahnya, ia malah terus menarikku. Mau sampai kapan aku ditarik-tarik begini? "Akiraaaa!"

    Aku mulai khawatir pendengaran Akira agak terganggu gara-gara insiden tadi. Dari tadi dipanggil kok nggak nyahut, sih?! "Akira! Aku marah nih! Kita mau kemana?"

    Harusnya aku tahu ancaman begitu nggak akan membuat Akira menyerah dan berbalik melihatku. Yang tidak kusangka adalah cowok itu tiba-tiba menggendongku! Gendong ala princess yang biasanya hanya bisa kulihat sambil gigit jari. Pipiku bersemu merah tanpa bisa dicegah.

    "Nah, nggak protes lagi, kan?" tanya Akira, merasa puas dengan kemenangannya. Aku membuang muka, kesal karena Akira selalu berhasil meredakan amarahku dengan mudahnya.

    Hawa dingin mulai menusuk kulitku. Aku menggosokkan telapak tangan di lenganku yang tebuka. "Akira, mau kemana, sih? Dingin nih," tanyaku lagi. Akira hanya tersenyum penuh rahasia. "Bentar lagi, ya? Kalau dingin, peluk aja aku. Aku kan hangat," katanya percaya diri.

    Sekarang aku mencoba menggeliat turun. Kalau begini terus, bisa-bisa Akira ngomong makin aneh lagi! "Eits! Mau kabur, ya? Hahaha! Tenanglah, Orika. Nanti kamu jatuh, loh."

    "Kamu itu cari-cari kesempatan aja! Peluk apaan! Turuniiiin!! Akiraaaa!"

    "Kalau aku nggak mau gimana?" tantangnya.

    "Aku marah! Turuniiiin!"

    Akira mengeluarkan senyum liciknya lalu berhenti berjalan. "Pilih mana, tetap digendong atau aku tarik lagi kayak tadi?"

    "Tarik aja! Tarik aja kalo kamu tega! Uh, kok kamu kejam banget, sih?!" rajukku. Akira tertawa. "Itu artinya kamu pilih digendong, kan? Bentar lagi aja, kok."

    Sepanjang sisa perjalanan kuhabiskan dengat merengut cantik pada Akira. Tentu saja! Aku selalu bisa melakukan apapun dengan cantik, meski Akira nggak pernah setuju dengan penggunaan embel-embel cantik di setiap hal yang kulakukan.

    Setelah lima menit berjalan, Akira berhenti dan menurunkanku. Loh? Tempat ini kan.... "Gimana? Bagus, kan? Kamu suka?"

    Cantik. Satu kalimat saja yang muncul di kepalaku. Taman ini cantik. Pohon dan lampu taman berjejer bersilangan, bangku-bangku panjang diletakkan di bawah lampu taman. Tambah lagi langit penuh bintang. Rasanya semua kekesalanku menguap begitu saja.

    Aku menoleh pada Akira. "Bagus banget! Kok aku nggak pernah tau ada taman secantik ini?"

    "Kalau kamu tau kan nggak jadi kejutan lagi. Nah, masih marah sama aku?"

    Aku menggeleng cepat. Akira tersenyum puas. Lalu ia mendekatiku hingga ujung kaki kami nyaris bertemu. Aku mengangkat wajahku. Mataku bertemu dengan matanya yang memancarkan ketenangan. Ia menghela napas panjang. "Ada yang mau aku bicarakan. Soal kepulanganku ke Jepang."

    Jantungku merosot ke tanah. Buyar sudah semua kesenangan barusan. Kenapa dia harus membahas itu lagi? "Oh, ngomong aja. Nggak perlu minta izin kan?"

    Ia menggaruk kepalanya frustasi. "Orika, kamu bisa nggak jangan marah dulu? Aku belum mulai, loh. Coba liat aku dulu." Akira memegang bahuku, memaksaku menatap matanya kembali. "Sip! Gitu, dong!"

    "Jadi?" pancingku. "Apa yang perlu dibicarakan sampe narik aku ke taman cantik ini?"

    Akira mulai salah tingkah. Ia memainkan poninya. "Masih inget janji kamu waktu itu?"

    Aku berfikir. Janji? Janji apa? "Setahun yang lalu, waktu kamu jenguk aku. Kamu bilang bakal mengabulkan satu permintaanku, kan?" katanya, mencoba menyegarkan ingatanku. Aku hanya mengangguk. "Iya, kalo nggak salah sih gitu. Kamu mau aku mengabulkan permintaan apa?" Entah kenapa perasaanku nggak enak.

    Tiba-tiba Akira memelukku. Rasanya semua udara lolos dari paru-paruku. Baru kali ini dia memelukku seperti ini. "Kalau begitu, maukah kamu menungguku disini? Aku janji nggak akan putus hubungan denganmu. Aku harus menemani ibuku merawat kakek yang sedang sakit di Kyoto," jelasnya.

    "Kakek kamu sakit? Kenapa kamu nggak bilang?"

    "Aku nggak tau bakal berapa lama sampai kakek pulih lagi. Ayah nggak bisa meninggal-kan pekerjaannya di sini, karena itu aku yang pergi. Kamu bisa ngerti, kan?"

    Belum apa-apa aku sudah merindukan Akira. Aku menenggelamkan wajahku di bahu Akira dan menumpahkan semua air mataku di sana. Dia mengusap-usap rambutku lembut. Dia tau, yang aku butuhkan saat ini adalah kesabarannya.

--

Waktu tujuh hari berlalu begitu saja. Akhirnya, Akira akan berangkat ke Jepang hari ini. Aku sudah bilang tidak bisa mengantarnya ke bandara. Nggak banget deh kalau aku nangis di sana. Kan malu!

    Tapi tadi pagi aku sudah menitipkan hadiah kecil untuknya pada Ibu. Gelang metal yang aku temukan saat keliling di mall. Kupikir akan bagus sekali kalau dia yang memakai, jadi kubeli saja.

    Saat sedang sibuk melamun, ponselku bergetar pelan. Ada pesan masuk. Dari Akira.

    Aku tau kamu pasti lagi galau kan sekarang? Makanya aku kirim foto ini biar kamu nggak galau lagi.

    Aku menekan gambar yang dikirimnya. Foto Akira! Dan dia sedang memakai gelang itu.

    Makasih ya gelangnya. Aku senang kamu sempat ngasih hadiah buat aku. Sori ya nggak sempat kasi kamu apa-apa. Tapi aku janji akan segera kembali padamu begitu urusanku selesai. Aishiteru[5], Orika-chan.

    "Dasar bodoh..."

    Tidak masalah kamu nggak memberiku apa-apa. Fotomu yang sedang tersenyum manis ini akan selalu kusimpan dan kujadikan sebagai hartaku yang paling berharga.


 

[THE END]


 

Keterangan:

[1] Harta paling berharga

[2]
If we see each other's faces, we always fight (Ichiban no Takaramono-Lisa)

[3]
I'm glad it was with you, and nobody else (Ichiban no Takaramono-Lisa)

[4]
But when I woke up in the morning, you weren't there (Ichiban no Takaramono-Lisa)

[5]aku mencintaimu