Monday, June 10, 2013

-Princess?-

Hmmmmmph!!! Sudah lama sekali aku tidak menulis apapun di blog! Itu artinya, sudah lama sekali aku tidak mengeluarkan semua kekesalan dan isi kepalaku ke dalam bentuk tulisan dan membaginya kepada para pembacaku! Astaga, sudah sebanyak apa hal yang menumpuk di dalam kepala dan hati ini?!

Baiklah, tidak ada gunanya menyesali hal yang sudah terlewatkan. Daripada aku menyesalinya, lebih baik aku segera membayar semua keterlambatan dengan menulis sesuatu yang bagus untuk dibagi :) Hmph! Aku mulai ya!

**

Puteri. Mengapa aku diberi gelar seperti itu? Gelar yang di dalam dongeng hanya bisa diberikan pada gadis-gadis di dalam kerajaan. Gelar yang entah patut kusebut sebuah anugerah.... atau kutukan.

Puteri. Jika kata itu terdengar di telinga, orang akan membayangkan gadis-gadis cantik dengan gaun mewah serta mahkota emas dan tak lupa selalu memiliki hidup bahagia selamanya bersama sang pangeran. Satu kata itu yang membuai otak gadis-gadis kecil untuk bermimpi menjadi salah satu darinya. Satu hal yang saat kecil selalu kubayangkan bersanding dengan namaku. Pasti indah sekali bisa hidup di dalam istana megah dan memiliki banyak pelayan untuk mengurus hidupku. Ditambah lagi, aku akan memiliki pangeran yang akan mendampingiku di dalamnya, menjalani seluruh hidupku penuh dengan kemewahan yang bisa kudapatkan dari kerajaan. Atau.... begitulah pikirku.

Seluruh hidupku, selama ini kuhabiskan hanya untuk mengurus buku-buku yang berjejer rapi di dalam rak-rak tinggi, menunggu seseorang datang untuk membaca mereka. Tugaskulah untuk meyakinkan tak satu titik debu pun menempel pada mereka selama menunggu. Tugaskulah untuk menjadi pembaca setia mereka. Aku, seorang diri, mengurusi sebuah perpustakaan sepi pengunjung, padahal banyak hal yang menanti di dalam sini.

Buku-buku yang paling sering kubaca kebanyakan bertemakan fiksi-fiksi indah yang membuat siapapun berani berkhayal setinggi langit. Mimpi semu yang dibebankan pada otak malangku yang terlalu mudah berimajinasi.

Ya, aku hanya menganggapnya mimpi semu. Semua hal berbau kerajaan seperti itu. Segala tentangnya. Menyadari peringkat sosialku dan kemampuanku yang amat sangat terbatas untuk dapat memasukkan satu mimpi itu ke dalam ambisiku untuk dikejar. Namun suatu hari aku disadarkan dan diingatkan bahwa tidak ada hal yang tidak mungkin. Oleh seseorang yang memasuki perpustakaan di hari yang lembab itu. Saat suhu udara begitu tinggi tanpa angin yang berhembus. Pria itu melangkah ke dalam ruangan seolah memberi kesejukan. Tidak ada yang ingin menebak siapakah figur bermata tajam itu.

Kusadari mata ini tidak lepas memandanginya menelusuri lorong-lorong rak. Memperhatikan jemarinya berpindah diantara punggung buku, khawatir masih ada sedikit debu yang akan berpindah ke atas kulitnya. Jari itu berhenti di sebuah buku yang seingatku baru saja kumasukkan ke dalam jejeran rak. Ditariknya punggung buku itu hingga sampul biru berhiaskan tulisan emas yang berada di atasnya terlihat jelas.

Pria itu lalu membawa buku tadi menuju meja baca. Lalu aku dengan bodohnya masih terpesona dengan keberadaannya hingga tidak menyadari sepasang mata zamrud itu balik melihatku. Lebih bodohnya lagi, aku tidak bisa bergerak saat ia mendekat padaku dan berkata pelan, "Ada sesuatu di pipimu," sambil mengusapkan tangannya di pipiku. Kemudian ia tersenyum, melanjutkan lagi kegiatannya. Melupakan keberadaan penjaga perpustakaan yang baru saja ia tegur.

--

Di saat seperti ini, saat seluruh hidupku berpindah ke dalam ruangan mewah dengan fasilitas yang terlalu lengkap, aku merindukan perpustakaan kecil yang dulu selalu menjadi sumber segala kebahagiaanku. Tidak, tidak seluruhnya kebahagiaanku. Mungkin di sana jugalah awal semua kutukan ini.

Aku yang dulu, yang hanya bisa makan seadanya, yang sudah sangat senang mengurus ribuan buku di perpustakaan, yang selalu mengurus hidupku seorang diri, kini berubah drastis. Aku yang sekarang dihujani aneka kemewahan yang mustahil didapatkan oleh aku yang dulu, memiliki banyak orang untuk mengurus bahkan hal sepele untukku, namun tidak sebebas dulu.

Aku yang sekarang.... adalah tawanan.

Pria itu... ternyata seorang Pangeran. Perlahan ia menarikku ke dalam dunianya yang tak kumengerti. Sembari perlahan, merantai hatiku padanya secara diam-diam. Hal yang manis, hangat, namun terselubung senyum licik.

Setelah tak lama mengganti peranku menjadi seorang Puteri, barulah aku mendengar kebenaran itu. Sesuatu tentang mewarisi tahta. Sesuatu tentang persaingan. Sesuatu tentang 'tanpa pasangan, tahta tidak akan jatuh padanya'. Sesuatu tentang... hati yang hancur.

Bayangan masa kecilku tentang seorang Puteri yang berbahagia bersama Pangerannya, hidup di dalam istana megahnya, hancur lebur. Berubah menjadi kepingan buram yang tak lagi indah. Hanya menjadi sampah yang lebih pantas dibuang.

Pernah, mungkin karena aku terlalu bosan, sekali aku duduk di pinggir jendela, berusaha mendekatkan diri pada bintang-bintang di langit. Mataku terpejam begitu damai, angin berhembus lembut menerpa rambut gelap panjang yang kubiarkan tergerai. Antara terlalu menikmati atau keinginan untuk bebas dari hatiku yang terdalam, aku tertidur dan terjun bebas keluar jendela. Menghantam tanah dari ketinggian yang tak bisa kusebut rendah. 

Dengan kondisi sangat kritis dan tak sadarkan diri, aku ditemukan oleh salah satu tukang kebun beberapa jam kemudian. Kehilangan banyak darah, benturan di kepala, tulang yang patah di sana-sini, aku merasa takjub bisa bertahan hidup. Namun untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berterima kasih ketika tertimpa musibah.

Pria itu, sang Pangeran, kembali padaku.

Pria itu berlutut di samping ranjangku, meletakkan tanganku dalam genggamannya yang bergetar, menunduk dalam hingga menyentuh selimut yang menutupi tubuhku seolah berusaha menyembunyikan sesuatu di wajahnya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama ditinggal seorang diri di dalam istana, ia berbaring di sampingku. Dengan sangat hati-hati ia melingkarkan lengannya di pinggangku, lalu bergantian mengelus pipiku dengan lembut. Sepasang mata zamrud itu menatapku dengan sendu. Saat itu, aku merasakan dia begitu rapuh. Seakan dengan satu hembusan angin saja ia bisa berubah menjadi serpihan debu.

Tidak terlihat keangkuhan yang dulu sering ia tunjukkan. Ketidakpeduliannya pada hidupku sirna saat itu juga. Aku dicurahi begitu banyak cinta dan perhatian yang membuatku nyaris--bahkan mungkin sudah--menangis. Otak dan hatiku yang sudah jutaan kali meneriakkan kebencian padanya kini berbalik haluan.

Aku tahu... jauh di lubuk hatiku masih ada rasa cintaku yang begitu besar kepadanya.

**

[THE END]