Cerita ini kutulis setelah menyaksikan ending game kesayanganku dan menuturkannya sesuai perasaanku saat itu...
***
Sudah beberapa waktu berlalu sejak pertarungan itu. Sejak kami bertarung mempertaruhkan nyawa demi kedamaian dunia. Perjuangan kami tak sia-sia. Kedamaian kembali terasa di kota ini.
Tapi kenapa aku merasa sedih? Padahal orang itu sudah bersusah payah kembali dengan selamat setelah mengalahkan Nyx. Kenapa mereka semua lupa akan kejadian itu? Kenapa hanya aku yang mengingatnya?
Aku tak ingin merasakan perasaan itu lagi. Seperti pedang yang menghunus jantungku. Aku tidak mau merasakan ketidakberdayaanku saat ia menghilang di pertarungan itu. Aku merasa begitu lemah. Kenapa aku tak mampu menghentikannya?
Saat aku masih sibuk dengan pikiranku, pintu depan dorm terbuka. Ah... sosok itu... Entah mengapa ia terlihat begitu rapuh. Ia menyunggingkan senyum padaku. Ah, senyum itu... Aku rela mengorbankan apa saja demi menjaga senyum itu. Bahkan nyawaku sendiri.
*
Aku lagi-lagi bertemu dengannya hari ini. Ia seolah tak berjiwa. Wajahnya kian memucat. Langkahnya sudah tak setegap biasanya. Ia terlihat semakin lemah. Meskipun begitu, ia masih sanggup memberikan senyuman padaku. Kenapa? Bukankah ingatanmu tentang SEES sudah tak tersisa lagi? Kau tak seharusnya membuang energimu untuk tersenyum pada orang asing! Kau tetap baik hati rupanya.
Sampai suatu hari aku menemukannya pulang dalam keadaan menyedihkan. Matanya begitu sayu, langkahnya semakin berat. Ia terdiam di depan pintu, berusaha mengumpulkan oksigen yang makin sulit masuk ke paru-parunya. Oh Tuhan! Ingin rasanya aku menangis histeris melihat kondisinya yang tak kunjung membaik. Mengapa ia masih ke sekolah dengan keadaan begitu?
*
Akhirnya hari ini tiba juga. Kelulusan. Mitsuru-senpai dan Akihiko-senpai akan meninggalkan Gekkoukan High School hari ini. Ah, masih ingatkah mereka dengan janji yang kami buat hari itu?
Pagi itu kuputuskan untuk berbicara dengannya. Kuketuk pelan pintu kamar orang itu. Astaga! Ada apa dengannya? Ia bahkan sudah tak sanggup lagi tersenyum. "Maafkan aku...," isakku pelan. Tapi ia tetap berusaha tersenyum dan berkata dengan suara lirih, "Kenapa meminta maaf?"
Kuajak ia ke atap sekolah. Angin musim semi bertiup pelan saat kami duduk. Ia berbaring di pangkuanku. Ah, wajah itu... Wajah yang tak pernah bisa hilang dari ingatanku. Wajah yang kini seolah tak berwarna lagi. Putih. Pucat. Ia sangat sakit.
Aah... Bodohnya aku! Kenapa aku malah menangis?! Aku tidak mau membuatnya khawatir! Ia mengulurkan tangannya untuk menghapus air mataku. Entah kenapa jarinya terasa begitu dingin di pipiku.
Aku membungkus tangannya dalam genggamanku. Tidak! Kenapa tangannya dingin sekali? Apa keadaannya separah itu? Ini bukan waktunya aku berdiam diri seperti ini!
Tiba-tiba genggamannya melemah.Kepalanya terkulai lemah di pangkuanku. Tangannya menggantung bebas di sisi tubuhnya.
Oh... Tidak....
Aku bisa mendengar suara kaki di kejauhan. Itu pasti mereka. Teman-teman, kumohon cepatlah datang. Orang itu... Orang itu...
*
Aku sudah tak ingat bagaimana bisa sampai di dorm lagi. Tadi apa yang terjadi? Dimana orang itu?!
Betapa kagetnya aku saat melihat mereka semua berkumpul di ruang tamu. Apakah ingatan mereka kembali? Mana orang itu? Mitsuru-senpai dan Akihiko-senpai pun tak terlihat.
Sebelum aku sempat menanyakannya, senpai turun bersama seorang dokter. Tak ada yang berani buka suara, bahkan saat Mitsuru-senpai sudah ikut duduk bersama kami. Wajahnya terlihat lelah. Apapun itu, aku ingin percaya bahwa orang itu baik-baik saja. Kumohon, biarkan ia baik-baik saja...
*
Malam itu, ia mendatangiku di dalam mimpi. Ya, aku yang tak bisa bermimpi pun melihat dirinya dibalik kelopak mataku. Sosoknya yang tersenyum hangat kepadaku. Sosoknya yang melambai dan mengucapkan selamat tinggal dengan air wajah sedih yang tak pernah kulihat sebelumnya. Apa maksudnya ini?
Firasatku dengan segera menjadi kenyataan. Semua orang memasang wajah sendu. Yuka, Fuuka, Mitsuru-senpai, dan Ken-kun bahkan menangis. Akihiko-senpai mengepalkan tangannya kuat-kuat, mati-matian menahan kesedihannya. Ini berarti...
Orang itu.... meninggal...
*
Aku tak sanggup menggambarkan perasaanku saat itu. Sedih? Marah? Tentu saja aku marah! Aku marah pada diriku yang begitu lemah. Kenapa aku tak bisa melindunginya? Padahal aku sudah berjanji padanya. Aku menyesali kelemahanku yang tak mampu melindunginya. Kini setelah ia tiada, apa tujuan hidupku?
* [END] *
No comments:
Post a Comment