Oh, aku sudah kembali ke kamarku tercinta, yang segera kuhabiskan waktu membaca kembali novel-novelku tercinta yang sudah kutinggalkan selama 6 bulan. Senang rasanya bisa memeluk mereka semua lagi. Kamar sendiri memang lebih menyenangkan.
Meskipun aku senang, bukan itu yang ingin kubagi. Sebaliknya, ada kisah sedih yang menanti kalian di bawah sana. Ya, aku memutuskan untuk membuat cerita tentang ending game yang belum lama ini kutamatkan (lagi). Sebenarnya bukan tentang game itu, sih. Aku hanya berusaha menggambarkan kembali emosi yang kurasakan saat menyaksikan akhir dari game tersebut... Emosi yang sedih, dalam, gelap. Perasaan ditinggalkan....
**
Rasa khawatir memenuhi benakku saat ini.
Sudah lebih dari 3 tahun dia tak kembali. Surat-surat yang tak pernah absen kulayangkan padanya tak berbalas selembar pun. Aku bahkan tidak tahu lagi mau kemana kukirimkan surat yang sedang kutulis ini.
Kalau kalian bertanya-tanya mengapa aku menggunakan surat yang jelas-jelas tidak efisien di era modern ini, mudah saja: dia berada di tempat yang tak terjangkau kecanggihan teknologi, yang artinya percuma saja aku menghubungi ponselnya karena benda itu tak menerima sinyal. Sangat disayangkan, memang, namun aku harus bisa bertahan dengan surat-surat ini.
Bukan berarti aku mengetahui keberadaannya. Jika benar begitu aku tidak akan pusing mencantumkan alamat tujuan surat-suratku. Hanya saja, aku tahu bahwa ia tak pernah jauh-jauh dari tempat terpencil yang jauh dari jangkauan manusia. Membayangkannya saja membuatku cemas. Aku tidak mengerti mengapa ia memilih pekerjaan yang begitu berbahaya, namun bersyukur ia bisa selamat menjalaninya. Mungkin.
Lama tak mendengar kabar membuatku bertanya-tanya apakah ia masih hidup, meski tak seharusnya aku meragukan kemampuannya melewati medan berbahaya yang kuragukan dapat dilakukan orang kebanyakan. Aku tahu dia tidak akan menyerah dan akhirnya kembali dari tugas-tugasnya. Tapi keadaan saat ini membuatku berpikir sebaliknya. Aku tidak ingin membuatnya khawatir dengan menuliskan hal-hal mengerikan yang kualami selama ia pergi dan mengganggu konsentrasinya pada pekerjaan. Sayangnya, aku sudah kehabisan topik pembicaraan bagus untuk suratku. Jadi aku memutuskan untuk menulis seperti berikut:
Halo, Ronald. Sudah 3 tahun aku tak mendengar kabar darimu. Apakah kau baik-baik saja? Tentu saja. Aku selalu baik-baik saja di sini, menunggumu. Aku hanya khawatir karena kau tak pernah membalas satupun suratku. Kuharap kau hanya sekedar sibuk.
Langit tak lagi cerah semenjak kau pergi. Tempat ini selalu dihiasi mendung meski aku tak tahu alasannya. Dimana dirimu sekarang? Apa yang sedang kau lakukan? Aku berusaha keras menahan diri untuk tidak menangis saat rindu ini sudah tak tertahan lagi. Kau tahu? Aku sangat merindukanmu.
Kuharap kau cepat kembali. Kudoakan kau selalu sehat dan menyelesaikan tugasmu dengan baik. Kau selalu tahu aku menunggumu di sini.
Salam,
Luna
**
Satu tahun kembali berlalu, tetap tanpa balasan surat. Aku nyaris menyerah menantinya, melupakan semua tentangnya. Mustahil. Aku tak pernah bisa menyerah dan melupakan semua yang telah dilakukannya untukku. Tidak bisa.
Terdengar ketukan pelan dari pintu rumah. Aku beranjak dari sofa dan menghampiri pintu. Di baliknya berdiri Morr, rekan kerja Ronald yang selama ini kutitipi surat-suratku. Ia menunduk sedikit dan mengeluarkan kotak hitam yang disegel dari balik punggungnya. Aku menerima kotak itu dengan perasaan tidak enak. Ada apa ini?
Morr menggerakkan tangannya ke arah kotak itu, mengisyaratkan padaku untuk membukanya. Meski curiga, kuturuti juga permintaannya. Saat isi kotak itu memenuhi pandanganku yang mulai mengabur, Morr angkat bicara, "Kami hanya tidak ingin fokusnya teralihkan dari tugasnya. Sudah berencana untuk memberikannya setelah ia pulang. Namun satu surat, surat terakhirmu, hilang. Aku tidak tahu. Maafkan aku."
Tenggorokanku tercekat air mata. Isakan hampir terlompat keluar, namun berhasil aku tahan. Astaga... Tak satupun suratku mencapainya.... Kata-kataku tak pernah sampai padanya... Berusaha menelan kekecewaan, aku mengangkat wajah menatap Morr galak. "Kenapa tidak kau berikan padanya?! Mana Ronald?! Apa yang kau pikir sudah kau lakukan?!"
Morr tetap memasang wajah datarnya. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab. "Aku kemari tidak hanya untuk mengembalikan surat-surat itu. Aku ingin menyampaikan pesan. Tentang Ronald..." Entah kenapa perasaanku semakin tidak enak mendengar nada bicara pria di hadapanku ini. Setelah jeda yang cukup lama, ia kembali meneruskan, "Ronald tewas dalam tugas."
Saat itulah segala pertahananku roboh. Air mata bergulir pelan menuruni pipiku. Lututku tiba-tiba lemas, membuatku jatuh terduduk di depan pintu. Pria bersetelan hitam di depanku tak menunjukkan tanda-tanda akan menenangkanku. Ia malah terus bercerita. "Ia menyelesaikan tugas dengan gemilang. Namun gagal melarikan diri, sayangnya. Prajurit penjaga perbatasan menembakinya tanpa ampun. Aku tidak yakin kau kuat melihat seperti apa jadinya ia sekarang. Sungguh, aku tidak menyarankanmu melihat mayatnya. Kami yang akan bertanggung jawab mengurus kematiannya. Aku turut berduka untukmu."
Morr berbalik pergi, memasuki sedan hitamnya dan mengemudi menjauhi area tempat tinggalku. Sama sekali tidak memedulikan teriakan pilu yang kulontarkan. Segala kesedihan yang tadinya kukira bisa kutahan lepas kendali.Aku berteriak histeris, menangis keras. Membiarkan air mataku tumpah ruah, berharap hatiku yang berdarah ikut luruh bersamanya.
Dia pergi... Dia pergi tanpa sempat kulepas kepergiannya. Ia bahkan tak mengucap 'selamat tinggal' padaku. Aku belum berterima kasih atas semua kebaikannya. Dia tidak pernah membaca suratku. Aku ragu ia tahu aku selalu menunggunya di sini.
Selalu....
[THE END]
ummmm tes tes wkwkk
ReplyDelete