Saturday, February 16, 2013

Satu Detak Inspirasi

Kelopak mata itu terbuka. Memamerkan iris berwarna hijau yang bersinar lembut. Lalu kelopak itu bergerak turun, kembali menutupi iris yang indah itu. Saat kelopak itu terbuka lagi, pandangannya tertuju padaku. Pemilik mata itu memiringkan kepalanya saat mendapatiku tengah mengamatinya.

Gawat! Aku buru-buru menunduk, berpura-pura fokus pada halaman buku yang terbuka di pangkuanku. Aku menunggu beberapa menit sebelum kembali mengangkat kepalaku. Kali ini iris hijau itu tertuju pada kanvas putih di hadapannya. Kembali kugunakan kesempatan ini untuk memandanginya.

Tinggi gadis itu pasti tak lebih dari 160 cm. Rambut pirang panjangnya tertutup topi lebar berwarna putih, senada dengan long dress yang ia kenakan. Jemari lentiknya menggoreskan kuas dengan hati-hati. Sayang sekali aku tak bisa melihat apa yang sedang ia goreskan ke atas kanvas. Hatiku bertanya penasaran keindahan seperti apa yang tengah ia bayangkan?

Taman ini sangat jarang dikunjungi orang. Entah apa yang membuat mereka lebih suka menghabiskan waktu di dalam gedung bernama mall yang penuh sesak oleh manusia daripada duduk menikmati kenyamanan yang diberikan alam di taman ini. Sayang sekali menyia-nyiakan tempat seindah ini begitu saja. Dan saat aku berpikir seperti itu, gadis tadi muncul.

Taman hari ini tetap sepi seperti biasa. Hanya ada aku yang duduk di bangku seperti biasa, lalu menikmati udara segar tempat ini seperti biasanya. Namun satu hal itu mengubah kebiasaan yang selalu kulewati: gadis tadi tiba-tiba muncul sambil menenteng tas besar serta dudukan kanvas. Awalnya aku tak terlalu memperhatikan kedatangan gadis itu. Suara ribut kuas-kuas yang menghantam lantai batulah yang membuatku menoleh padanya. Gadis itu dengan gugup memunguti kuasnya yang beraneka ukuran itu dan meletakkannya di bangku. Ia berpaling padaku, dan detik itulah aku menyadari iris indah itu.

Lima jam telah berlalu sejak kejadian kecil itu. Tapi tak satupun dari kami beranjak dari tempat masing-masing. Sesekali gadis itu mengalihkan pandangan dari kanvas dan bertemu mata denganku. Namun entah mengapa gadis itu cepat-cepat mengalihkan pandangannya saat mata kami bertemu. Bolehkah aku menganggap ini suatu pertanda baik?

Satu jam berlalu begitu saja. Gerakan tangan gadis itu mulai berkurang. Apakah lukisannya sudah selesai? Aku penasaran bagaimana hasilnya. Namun nyaliku tak cukup besar untuk menghampiri gadis itu. Haha... Laki-laki macam apa aku ini? Hal begitu saja tak bisa kulakukan.

Gadis itu menutupi kanvasnya dengan kain putih dan mulai berkemas. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Benarkah? Sudah hampir jam enam? Kututup buku yang dari tadi hanya kupegang dan beranjak dari bangku. Mencoba melupakan iris hijau yang mengawang di ingatanku.

**


Saat aku kembali mengunjungi taman keesokan harinya, satu hal yang di luar kebiasaan lagi-lagi muncul. Kali ini berupa bungkusan besar yang disandarkan di bangku tempat aku biasa duduk.

Perlahan kudekati bungkusan mencurigakan itu, lalu mendapati sebuah kartu tertempel di permukaannya.

Kepada pria yang menginspirasiku dalam satu detak

Begitu tulisannya. Dahiku berkerut bingung. Apakah pria yang dimaksud ini aku? Mataku kembali tertumbuk pada bungkusan itu. Mungkin aku akan mengerti begitu membukanya. Jadi aku merobek kertas berwarna biru itu tanpa ampun.

Pupilku melebar dan desiran hangat terasa di dadaku saat melihat wujud dalam bungkusan itu. Itu adalah lukisan seorang pria berkacamata yang sibuk membaca buku di bangku taman. Rambut coklatnya jatuh dengan rapi di dahi, sedikit menutupi kacamata yang membingkai mata lebar kecoklatan pria itu. Dan hal yang paling mengejutkan adalah kenyataan bahwa pria dalam lukisan itu terlihat sangat mirip dengan diriku.

Sebuah kertas meluncur turun dari balik lukisan itu. Kuteliti tulisan rapi yang mengisi kertas itu.

Teruntuk pria dalam lukisan,
Tak pernah terbayangkan ada pria yang mampu mencuri pandanganku di tempat seperti ini. Jujur saja, aku tak pernah bisa melukis dengan indah kalau objek lukis itu tak menarik perhatianku. Namun dirimu, hanya dalam satu detak jantungku saja, mampu menyihir pandanganku agar tak terlepas darimu. Anda sangat mengagumkan.
Jika tak berkeberatan, aku ingin bertemu lagi denganmu. Apakah Anda keberatan?

Deyna

Baiklah.... Apakah kali ini aku sudah boleh berharap?

**

[THE END}

No comments:

Post a Comment