Saturday, November 3, 2012

a story.....

Harusnya aku tahu, selalu ada alasan mengapa manusia ada di dunia. Dan selalu ada alasan mengapa ada yang hidup sendiri dan ada pula yang hidup dalam keramaian. Aku kini sadar, sepenuhnya menyadari alasan aku sendirian.

Aku tak pernah bisa mengatur emosiku. Ya, hal seremeh apapun bisa menaikkan atau menurunkan emosiku secara drastis. Saat orang lain berbicara padaku, mereka harus bisa memilah kata-katanya dengan hati-hati. Mereka juga harus mempu membaca aura moodku yang tak pernah stabil ini. Menyadari betapa sulitnya bersosialisasi denganku, satu persatu dari mereka mundur perlahan. Hingga akhirnya tidak ada seorangpun yang berusaha mendekatiku lagi.

Terbiasa melakukan segala hal sendiri, aku tumbuh menjadi pribadi yang selalu berusaha tanpa bantuan orang lain. Di saat orang beramai-ramai membentuk kelompok dan segala macamnya, aku berdiri sendiri. Memecahkan masalahku, mengurusi diriku. Karena itulah aku canggung saat seseorang dipindahkan ke kamar asramaku. Pengurus asrama yang tahu kondisiku dan sengaja membiarkan aku memiliki kamar ini sendiri--meski kamar ini dibuat untuk dua orang--sekarang malah mengantarkan seorang bocah pendek berkacamata. Kuutarakan keberatanku pada Miss Dean.

"Tidak ada kamar kosong lagi di tempat ini. Kau tidak lihat keadaannya?" kata Miss Dean sambil merangkul bocah itu. Rambut panjangnya tergerai mengerikan hingga ke bagian wajahnya. Membayangkan bahwa aku harus sekamar dengan monster berkacamata ini tak urung membuatku merinding. "Tapi, Miss--"

"Aku tahu kondisimu, Cath. Tapi kau juga harus belajar memahami orang lain. Atau kau tak akan pernah bisa bersosialisasi selamanya."

Miss Dean pergi begitu saja meninggalkanku dengan bocah mengerikan itu. Ia mengangkat wajahnya dan menatapku tajam. "Jangan hiraukan aku. Kau urusi saja dirimu sendiri."

"Memang begitu niatku dari awal, bocah."

"Namaku Ling, jangan panggil aku bocah!"

Dan begitulah. Aku menjalani hari-hariku seperti biasanya. Tak sekalipun aku menghiraukan kehadiran bocah bernama Ling itu. Dia pun sepertinya tak ingin berurusan denganku. Bagus!

Hingga akhirnya beberapa bulan kemudian bocah itu jatuh sakit. Dokter bilang dia stres. Miss Dean menuduhku sebagai penyebabnya. Aku tidak terima. "Bocah itu sendiri yang bermasalah! Jangan tuduh aku sembarangan!"

Miss Dean menggeleng pelan. "Pasti kau mengeluarkan aura pembunuh setiap hari sampai gadis malang ini jatuh sakit. Sebegitu sulitkah menahan emosimu barang sedikit saja?"

Aku hanya diam, tidak berniat menyetujui atau menyangkal kata-kata Miss Dean. Kalau aku membiarkan diriku menyangkal, emosiku akan terbakar lagi. Dan aku paling tak ingin bertengkar dengan orang yang sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. "Baiklah, Cath. Aku tidak akan berbicara lagi. Kuanggap kau paham."

Selangkah, dua langkah, tiga langkah.... Dan di langkah ke lima Miss Dean menjauh, aku ambruk ke lantai. Dunia seketika gelap gulita.

**

Miss Dean duduk menatapku khawatir saat aku akhirnya sadar. Ya, aku tahu, aku tahu. Aku selalu pingsan saat emosiku bergejolak terlalu tinggi. Mungkin inilah alasan lainnya orang malas berurusan denganku. "Kau sudah sadar, Cath?"

Aku mengangguk pelan. "Sudah berapa lama...?"

Miss Dean mendesah. "Ini rekormu yang terlama, seminggu. Tadinya kupikir kau tak akan pernah sadar lagi. Untunglah aku tak membawamu ke rumah sakit."

"Tidak! Terima kasih Anda tidak membawaku kesana. Aku tidak ingin tahu apa yang terjadi padaku!"

"Dasar bodoh. Kau tahu tidak ada masalah pada otak dan jantungmu?"

Suara menyebalkan itu membuatku menoleh. Benar saja! Bocah bernama Ling itu menatapku dari balik kacamatanya. "Hai, Cath."

"Tahu apa bocah sepertimu tentang kondisiku?"

"Oh, tentu saja semuanya. Kau pikir untuk apa aku memaksa Miss Dean menempatkanku di kamarmu? Sejak awal aku sudah tahu kau butuh bantuanku."

"Maksudmu?"

"Singkatnya, seseorang meminta bantuanku untuk menyembuhkanmu. Kau harus berterima kasih padaku."

"Siapa yang memintamu? Kenapa dia bisa tahu aku sakit?"

Bocah itu melompat duduk di pinggir ranjangku. "Dia penggemar beratmu. Kebetulan dia bisa melihat penyakit yang bersemayam dalam tubuh orang. Oh, dan harusnya kau berhenti memanggilku bocah. Aku lebih tua darimu, bocah."

"Jangan bilang kau sengaja pura-pura sakit supaya aku...."

"Oh, tentu saja. Aku tidak mungkin sakit hanya karena tinggal sekamar denganmu, Cath. Aku hanya ingin memastikan dugaanku saja. Kau tahu, ada penyumbatan di otakmu. Dan emosimu yang cepat naik itu benar-benar membantu mempercepat kematianmu."

"Ling!" Miss Dean memperingatkan. Tapi dia tak mempedulikannya. "Jujur saja, aku sendiri sudah menyerah. Semua terserah padamu, bocah."

Aku beranjak dari ranjang dan keluar dari asrama secepat yang aku bisa. Penyumbatan di otakku katanya? Hah, tak perlu berulang kali disebut pun aku sudah mengerti. Aku sudah tahu itu....

"Catherina, mau kemana?"

Awalnya kupikir itu tiang. Tinggi sekali! Tapi aku tidak bodoh untuk mengetahui tak ada tiang yang berwajah menenangkan sepertinya. Apakah dia si penggemar yang disebutkan oleh Ling? "Bukan urusanmu, orang asing. Urus saja masalahmu sendiri."

Tiang--maksudku, sosok itu berlari mendekatiku dan menahan pergelangan tanganku. "Kau sakit, jangan banyak bergerak."

"Jangan memperparah penderitaanku, orang asing. Enyahlah!"

"Dengar, Cath!" paksanya. "Bertahun-tahun aku hanya bisa memperhatikanmu dari jauh. Dan ketika aku berkesempatan mendekatimu, jembatan itu menghilang. Tambah lagi aku jadi melihat penyakitmu yang membuatku makin panik saja. Sekarang aku sendiri yang mendatangimu, karena itu percayalah padaku!"

"Jangan dengarkan Ling. Kau pasti bisa sembuh, Cath. Pasti! Aku tidak akan membiarkanmu mati, Catherina."

Kehangatan menyusupi dadaku. Ternyata inilah alasan selama ini aku dibiarkan sendirian. Agar hanya sosok pemuda inilah yang akan tertanam kuat dalam ingatanku selamanya....

[THE END]

:3

No comments:

Post a Comment